Beberapa peristiwa alam belakangan ini tampaknya perlu mendapatkan perhatian serius. Maklum di pahami, kaleidoskop 2018 run tut ragam bencana di beberapa tempat.
Banjir, tanah longsor, gempa bumi, letusan gunung api, hingga tsunami, menjadi lon ceng pengingat bahwa bencana alam kapan saja dan di mana saja bisa terjadi. Geo gra fis Indonesia yang terletak di lem peng tektonik Australia, Pasi fik, Filipina, dan Eurasia, serta dae rah aliran sungai (DAS) dari Sabang sampai Merauke yang mencapai jumlah 5.590 menja di kan Indonesia rentan.
Hal ini setidaknya bisa dilihat dari data yang dikeluarkan Badan Nasio nal Penanggulangan Bencana (BNPB). Sepanjang 2018, BNPB men catat setidaknya terjadi 2.572 kejadian bencana dan meng akibatkan 4.814 orang me ninggal dan hilang serta 10.239.533 terdampak dan meng ungsi.
Bencana juga tidak hanya berdampak pada ma nu – sia, tetapi sebanyak 320.165 ru mah mengalami kerusakan aki bat bencana. BNPB juga men catat bahwa banjir me – rupakan bencana alam yang sering ter ja di pada 2018, yakni 86 kali, ta nah longsor 67 kali, gempa bumi 5 kali, letusan gunung api 3 kali, terjadi 1 kali tsunami.
Data di atas men dorong adanya gerak terpadu dalam penanggulangan bencana alam tidak berhenti pada upaya yang sifatnya par sial, tetapi juga perlu dibarengi dengan kerja-kerja kolaboratif berbagai elemen.
Berkelanjutan
Upaya-upaya instansi pen didikan tentang kebencanaan men jadi salah satu produk pen di dikan yang dinantikan dalam kait annya dengan pengu rang an risiko bencana. Melalui pro duk pendidikan, setidaknya bisa memberikan pemahaman komprehensif kepada anak didik kita tentang risiko ben ca na dan langkahlangkah taktis manakala ter jadi bencana.
Pemetaan tentang potensipotensi terjadinya bencana serta kaitannya dengan peringatan akan gejala bencana juga bisa dilihat dari upaya BNPB sebagai langkah pengu rangan risiko bencana. Per tanyaannya kemu dian, sejauh mana upaya itu mampu me ngurangi risiko ben ca na dan segala hal yang berkaitan dengan kebencanaan? Tentu tidak menutup mata bah wa pengetahuan tentang kebencanaan masih minim.
Dari berapa penelitian semisal, pen didikan kebencanaan dilakukan secara temporer yang pada akhirnya gampang di lupakan masyarakat. Nahas nya lagi, pen deteksi bencana dini belum be kerja dengan maksimal. Alha sil, setiap ter jadi bencana, tak heran jika melulu menelurkan korban yang tidak sedikit, lengkap de ngan kerusakan-kerusakan yang mengekorinya.
Di sinilah penulis mengang gap penting adanya keikut sertaan lembaga penyiaran dalam sosialisasi kebencanaan. Diakui atau tidak, keterlibatan lem ba ga penyiaran sangat minim ke ben canaan. Paling banter, lem ba ga penyiaran hanya menya ji kan informasi tentang bencana hanya ber dasarkan kejadian belaka.
Berita-berita yang ditayang kan oleh lembaga penyiar an tak lebih dari sekadar peli put – an pascakejadian. Tak jarang, peliputan-peli – put an yang dilakukan justru me li pat unsur-unsur kemanusiaan dalam bencana. Me main kan emosi korban untuk me raup nilai komersial dari kha la yak.
Nilai-nilai ke manu siaan jus tru termarjinalkan. Kha la yak hanya bisa men da – tangkan rasa empati, tetapi tidak me la hirkan penge – tahuan baru, ke cuali jumlah korban, proses ro bohnya rumah, dan hal lainnya yang bersifat emosional. Fenomena di atas berbeda jauh dengan media-media, ter masuk lembaga penyiaran se – perti televisi yang berada di Jepang.
Media-media di Jepang tidak hanya melakukan peliput an tentang peristiwa bencana, tetapi ia terjun ke masyarakat me lakukan sosialisasi, baik da lam bentuk diskusi dan semi nar-seminar. Salah satu lemba ga penyiaran di kota Sendai, Jepang, semisal–Highasi Nip pon Broadcasting (KHB)–rutin selama tujuh tahun memberitakan tentang dampak tsunami Je pang pada 2011. Mereka bah kan membuat liputan khusus.
Komitmen Televisi
Atas dasar itulah, saya meni lai sebenarnya televisi mempu nyai peranan penting yang bisa dilakukan, tetapi tidak maksi mal dalam melakukannya. De ngan segala keunikan yang di – mi likinya, barang kali televisi men jadi prasyarat kesadaran ke bencanaan itu tumbuh di ma syarakat.
Hal ini bisa dilakukan melalui iklan layanan masyara kat maupun program siaran ber temakan tentang kebenca naan. Mengutip James Monaco (1977), televisi mempunyai ke mampuan dalam menghu bungkan realitas dengan penon ton. Kemampuan itu dise bab kan oleh sifat televisi yang me nyajikan pengalaman secara ber kesinambungan (Andi Ali mud din Unde, 2015).
Apalagi berbicara kebencanaan–meminjam bahasa Markoen Sanjaya (2019)–news value sudah termaktub dalam peristiwa dan segala sesuatu yang berkaitan dengan kebencanaan. Ia mem punya nilai-nilai pengaruh (magnitude), kedekatan (proximity), kebaruan (actual), dam pak (impact), dan keluarbiasaan (unusualness).
Artinya bahwa televisi tidak sekadar menginformasikan ke pada publik tentang peristiwaperistiwa bencana alam secara temporer, melainkan hadir men jejali kesadaran masyara kat tentang kebencanaan de ngan komprehensif. Tentu saja model informasi yang ditekan kan adalah kreativitas dan tidak menakutkan.
Ia harus dibalut dengan sentuhan-sentuhan yang bisa diterima semua kalangan terutama anak dan re maja, sebab setengah dari jiwa terpapar bencana adalah anak usia sekolah. Rekomendasi ini tidak be rang kat dari ruang kosong. Ini merupakan penagihan komit men televisi yang mengguna kan frekuensi milik publik.
Masyarakat mesti diberikan infor masi berkaitan pengetahuan tentang kebencanaan secara komprehensif, bukan lagi par sial, apalagi hanya menarik keuntungan dengan memainkan emosi khalayak melalui pena yangan bencana.
Bukan hal yang susah dilaku kan, apabila pihak terkait termasuk televisi dan lembaga pe nyiaran lainnya termasuk me dia elektronik maupun cetak melakukan kerja-kerja kolabora tif tentang sosialisasi dan pendidikan kebencanaan.
UBAIDILLAH
Komisioner Bidang Kelembagaan KPI Pusat