dai-siaga-bencana

Judul : DA’I SIAGA BENCANA : Panduan Praktis Dakwah Pengurangan Resiko Bencana
Penerbit : LPBI NU dan OCHA
Tahun : 2011
Oleh : Syamsul Hadi Musta’in [1]

Telah jamak dimengerti NU merupakan organisasi dakwah selain dikenal sebagai organisasi sosial keagamaan. Dari tujuan awal pendiriannya jami’ah ini, NU sangat berkepentingan untuk melakukan dakwah demi tegaknya kemuliaan agama Islam dan pemeluknya. Sudah barang tentu banyak aktivitas dakwah yang dilakukan oleh para pengurus dan pengikut NU di seluruh pelosok negeri ini dengan berbagai ragam bentuk kegiatan dan perspektifnya. Misalnya; ada yang mengambil jalur dakwah qauliyah, seperti menjadi khotib, imam masjid/musholla/langgar dan surau, memberikan taklim dan sebagainya. Tapi juga tidak sedikit yang meneladankan nilai-nilai dakwah dengan bentuk kegiatan praktis yang memiliki nilai manfaat bagi kehidupan orang banyak dan lingkungan sekitarnya. Dakwah dalam langam ini yang disebut dakwah haliyah atau dakwah bil hal.

Secara aksiologis strategi dakwah yang dilakukan oleh para eksponen dakwah di NU dapat dikelompokan menjadi tiga varian aksi, pertama adalah fiqhul ahkam; untuk mengenal dan menerapkan norma-norma keislaman secara ketat dan mendalam, agar para santri kelak menjadi muslim yang taat dan konsekuen. Strategi ini diterapkan di lingkungan pesantren atau masyarakat santri dan komunitas tarekat. Kedua, fiqhud dakwah; yang diterapkan pada ranah masyarakat pada umumnya, terutama bagi kelompok awam. Di mana ajaran Islam diterapkan secara lentur, sesuai dengan kondisi masyarakat dan tingkat pengetahuan mereka. Dan ketiga adalah fiqhul hikmah, di mana ajaran Islam yang disampaikan dapat diterima oleh semua kalangan, tidak hanya pada kalangan rakyat jelata tetapi juga golongan elite, termasuk para rohaniawan yang non muslim, (lihat selengkapnya, Said Aqil Siraj, 2011).

Hadirnya buku “Da’i Siaga Bencana” tidak semata-mata untuk melengkapi khazanah kepustakaan kita, namun jauh lebih urgen merupakan pandun tepat untuk aksi konkrit dalam rangka jihad pengurangan resiko bencana, sehingga seminimal mungkin kalau toh terjadi korban bisa dihindari sejak dini. Sebagaimana dikatakan dalm kitab I’anal al-Thalibin fi Syarhi Fat al-Mubin, –bukankah dalam konteks tertentu– jihad bisa dimaknai sebagai daf’u dlararin, musliman kaana au dzimmiyan yaitu mencegah adanya ancaman atau bahaya (madlarat) baik terhadap orang muslim atau non muslim yang hidup damai dengan komunitas muslim atau yang disebut dzimmy (hal. 4).

Dilihat dari aspek kontennya, buku panduan ini memuat paparan lengkap tidak hanya mengenai langkah-langkah dalam upaya mengurangi resiko bencana (terutama pada bab tiga dan bab lima), tetapi juga menyangkut landansan filosif maupun etisnya (bab satu dan dua). Meskipun tidak begitu mendalam, paling tidak tawaran konsep tentang penggalangan aksi stategis untuk mendekati audien (al-ma’au) alias subyek dakwah juga dipaparkan dengan narasi yang menarik dan relatif mudah dipahami oleh pelaku dakwah (da’i), yang dalam konteks pemberdayaan masyarakat meraka yang dikategorikan sebagai agen perubahan sosial (agen of social change).

Sebagai catatan penutup dan saran, tulisan dan kata-kata yang digunakan tidak sedikit menggunaka frasa dan kata-kata ilmiah yang belum begitu populer di kalangan para juru dakwah yang ada di lingkungan NU. Penting diingat, tidak semua khatib dan da’i NU adalah kelompok intelektual yang biasa mengonsumsi karya-karya yang sarat dengan istilah-istilah saint modern sebagaimana banyak dijumpai di lingkungan kampus. Sayangkan! Kalau gara-gara satu atau dua kata pesan yang begitu penting tidak bisa tersampaikan kepada pemabaca. Wallau’alam.

[1] Penulis adalah Wakil Sekretaris LPBINU peride 2010-2015.